Perkawinan merupakan ikatan sakral antara dua manusia yang berbeda jenis kelmainnya yaitu wanita dan pria. Dalam Islam perkawinan murupakan perintah yang bermakna anjuran bagi setiap orang yang sudah dianggap layak dan mampu untuk melakukan perkawinan tersebut.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya ( H.R. Imam Bukhari )
Perkawinan memiliki tujuan suci yaitu menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sesuai qodrat manusia yang bernilai ibadah.
Di negara Indonesia urusan perkawinan diatur yang sedemikian rupa sebagaimana ditetapkan dalam undang – undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, pada Bab I pasal satu dengan bunyinya : ” Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang maha Esa“.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedan pendapat antara orang – orang yang didalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang – orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.